HARDIKNAS 2018: Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan





Menurut Kalian, apa sih pendidikan itu?



Bukan defisini baku menurut Undang-undang, dan bukan juga menurut pakar pendidikan loh yah, tapi bener-bener pendapat sendiri.

Kalau menurut saya pribadi, berdasarkan pendapat sotoy sesuai pengalaman mengarungi puluhan purnama (*tsaaahhhh) pendidikan itu intinya bikin kita tambah pinter. Iya, tambah pinter. Pinter di sini bukan hanya dalam artian akademik dengan nilai 100 atau pun sederet huruf A, tapi juga pinter dalam hal bertingkah laku.


Mulai dari kecil kita ditanamkan tentang hal-hal yang (kalau diperhatikan lagi) lebih menekankan tentang cara bertingkah laku ketimbang soal pelajaran. Ya nggak sih?

Sebagai contoh, sebelum seorang anak bisa bicara dengan lancar, orang tua sudah menekankan setidaknya hal-hal seperti, "Ayo, nak, cium tangan!" atau "Senyumnya mana?"  ketika bertemu dengan orang lain yang lebih tua. Lalu ketika sang anak mulai tumbuh, orang tua lalu mengajarkan hal lain seperti belajar berdoa, mengucap nama sendiri dan anggota keluarga, hinggga mulai belajar berhitung dan mengenal huruf.

Dari kebiasaan di atas (*berdasarkan yang saya tahu) bisa dilihat bahwa sedari awal perihal bertingkah laku lebih ditekankan ketimbang kecerdasan dalam hal akademik, dan keluarga menjadi titik pertama dalam mengembangkan kebiasaan-kebiasaan bertingkah laku itu. Bukan berarti akademik tidak penting loh yah, jelas itu juga penting.

Seperti yang sudah banyak dibahas oleh para ilmuwan, ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan seseorang. Tiga lingkungan itu adalah Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat.

Ya ampun, kayak udah paling bener aja ya saya sampai bahas topik ini, hehe. 

Sejujurnya saya merasa tergelitik tentang beberapa hal kebiasaaan yang saya temui di keseharian saya. Ada kejadian nyata yang pernah saya alami dan membuat saya terperangah. Kejadian ini saya alami sekitar tahun 2013 di sebuah pusat perbelanjaan. 

Saat itu ada satu keluarga yang terdiri dari tiga orang, Sang Ibu; yang saya tafsir berumur sekitar 34 tahun, Sang Kakak; yang saya tafsir berumur sekitar 10 tahun, dan Sang Adik; yang saya tafsir berumur sekitar 5 tahun.
Sang Adik membawa gelas minuman dari salah satu restoran ayam goreng cepat saji. Sang Ibu sibuk memilih baju yang sedang diskon, Sang Kakak juga asyik turut serta Sang Ibu memilih baju untuknya sendiri.

Saya sendiri duduk di kursi, ngaso

Selang waktu berlalu, minuman Sang Adik pun habis. Sang Adik menarik baju Sang Kakak sambil berujar, “Kak, minumnya abis.” Sang Kakak menoleh ke arah Sang Adik. “Yaudah, buanglah!” ujar Sang Kakak singkat lalu lanjut memilih-milih baju. Sang Adik yang merasa tak puas dengan respon Sang Kakak pun kembali menarik baju Sang Ibu, “Ma, minumnya abis.” 
Tak jauh beda dengan Sang Kakak, Sang Ibu pun menyuruh Sang Adik untuk membuang sisa minumannya.
“Ayo cari tong sampah.” Sang Adik kembali menarik baju Sang Kakak.

Saya tersenyum mendengar kalimat Sang Adik barusan.

“Gausah ke tong sampah, buang aja di sini!” ujar Sang Kakak dengan nada kesal. Nampaknya dia tak senang karena Sang Adik terus menarik bajunya, meminta diantarkan mencari tong sampah.

Saya hanya bisa menggelengkan kepala mendengar kalimat dari Sang Kakak. Namun saya kembali tersenyum ketika Sang Adik beralih mencari perhatian Sang Ibu, kembali meminta ditemani untuk mencari tong sampah.

Betapa kagetnya saya ketika melihat Sang Ibu mengambil gelas sisa minuman itu lalu melemparnya ke bawah rak pakaian. Ya, benar, rak pakaian di pusat perbelanjaan. Setelah itu mereka berpindah ke rak pakaian berikutnya.
Saking kagetnya saya, sampai tak bisa berkata-kata.

Mungkin Sang Adik sudah berusaha dengan maksimal untuk menerapkan yang diajarkan oleh Bu Gurunya di sekolah, “Buanglah sampah pada tempatnya.” Namun, Sang Ibu dan Sang Kakak ternyata sudah lupa dengan nilai yang ditanamkan ketika sekolah itu. Semoga Sang Adik terus berusaha untuk membuang sampah pada tempatnya ya.

Ini saya hanya sekedar bercerita, bukan bermaksud untuk menjelekkan seseorang atau niat buruk lainnya.  

Seperti yang dikutip dari pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2018, “Guru, orang tua, dan masyarakat juga harus menjadi sumber kekuatan untuk memperbaiki kinerja dunia pendidikan dan kebudayaan dalam menumbuhkembangkan karakter dan literasi anak-anak Indonesia.” Dari kalimat tersebutlah, saya langsung teringat kejadian yang saya alami di tahun 2013 tadi.

Kemendikbud, sudah berusaha memajukan Indonesia dengan pola pendidikan karakter. Untuk mencapai keberhasilan pendidikan tersebut, tentunya tiga elemen penting Guru, orang tua, dan masyarakat juga harus bekerja sama.

Jika ditanya, apakah saya sudah benar-benar hebat, sampai berani-beraninya menulis seperti ini? Memangnya apa yang sudah saya perbuat untuk negara ini?

Jawabannya adalah, saya masih banyak khilaf. Masih banyak juga yang harus saya perbaiki. Tapi setidaknya saya sudah berusaha menjadi masyarakat yang baik (*tsaaaah) dengan membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan, dan juga antri dengan teratur. Iya hal sesederhana itu bisa dengan mantap saya sebutkan jika saya ditanyai tentang kontribusi saya terhadap perkembangan Indonesia.

Bukankah hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil? Tidak usah terlalu sibuk membandingkan Indonesia dengan negara maju lainnya yang penduduknya begitu tertib dengan budaya antri yang begitu rapi, atau budaya tertib dalam membuang sampah hingga negaranya bersih. Iri pasti terlintas, ingin Indonesia sama seperti negara lain yang tertib.

Soal kebersihan, ini bukan soal tugas tukang sapu, tapi tugas bersama. Seoal ketertiban, ini bukan soal tugas sang penjaga antrian atau sejenisnya.

Ayo mulai dari diri sendiri. Memang masih banyak yang begitu acuh tak acuh dengan hal sedemikian, namun cobalah untuk menjaga diri agar tertanam hal tersebut.


Ini sebenarnya hal yang sederhana. Namun, jika benar-benar ditanamkan, bukankah kita bisa menjadi salah satu partisipan memajukan bangsa?




NB: semoga bisa dimengerti bahwa postingan ini bukan berniat menjatuhkan siapa pun.


You Might Also Like

2 komentar

  1. Sebel. Liat anaknya udah mau taat peraturan, tapi ibunya malah nyontohin yang nggak bener.

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang kadang (*gak selalu, sih) yang akhirnya menggagalkan nilai-nilai baik dari pendidikan di sekolah tuh justru pihak keluarga dan orang-orang sekitar yang lebih sering menjadi pusat interaksi. kadang sudah melalukan yang benar, malah diledekin, atau diceletukin dengan ujaran, "Yahelah, taat banget sih? peraturan kan ada buat dilanggar"
      Hmm...

      Hapus